Minggu, 03 Mei 2009

MENETRALISIR PENDIDIKAN DARI POLITIK

Oleh: Muhammad Rajab*

Secara umum tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa. Baik dari segi moral maupun intelektualnya. Hal ini telah lama dirumuskan dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 yaitu, bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Melihat tujuan pendidikan tersebut sungguh pendidikan merupakan tindakan mulia yang pernah ada dalam kehidupan manusia. Dan apabila tujuan pendidikan sebagaimana yang telah dirumuskan oleh undang-undang tersebut ditempatkan dalam tatanan yang lebih luas maka bisa dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki peradaban manusia.

Daoed Joesoef mengatakan bahwa pendidikan merupakan alat yang menentukan sekali untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang penghidupan, dalam meilih dan membina hidup yang baik yang sesuai dengan martabat manusia.

Dan hal itu telah dibuktikan oleh sejarah. Misalnya dalam perjalanan sejarah Arab pra-Islam terdapat suatu masa yang disebut dengan masa jahiliyah (zaman kebodohan). Yang pada saat itu nilai-nilai kemanusiaan sangat rendah sekali. Yang kaya memperbudak yang miskin, yang kuat menindas yang lemah, Kekerasan terjadi di mana-mana, perempuan tidak dihargai dan ditempatkan pada derajat yang sangat rendah. Bahkan dalam tradisi Arab sebelum datangnya Islam bayi perempuan yang lahir langsung dikubur hidup-hidup.

Dalam kondisi Arab yang demikian diutuslah seorang rasul yang bernama Muhammad untuk menyerukan kebenaran dan perdamaian di tengah-tengah masyarakat yang kondisinya morat-marit dan berperadaban rendah. Dalam hal ini Nabi melakukan dakwah yang mana pendidikan merupakan salah satu bagian dari padanya.

Bagaimana Nabi Muhammad mendidik setiap individu mulai dari keluarganya kemudian dilanjutkan kepada masyarakatnya. Yang kemudian bias mengantarkan mereka ke dalam manusia dan masyarkat yang berperadaban tinggi. Yaitu masyarakat yang cinta kedamaian serta menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan humanitas. Sehingga atas dasar itu Muhammad dicatat dalam urutan nomor satu oleh Michael H. Hart sebagai tokoh yang paling berpengaruh di dunia.

Namun realitas yang terjadi saat ini sungguh mengkhawatirkan. Tujuan mulia pendidikan sudah berbalik menjadi tujuan-tujuan politis yang sifatnya hanya sementara. Tujuan pendidikan tidak lagi seutuhnya ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki moral bangsa serta menciptakan manusia yang beriman.

Apalagi pada musim kampanye pemilu legislatif bulan April kemarin. Pendidikan menjadi alat permainan para politikus. Mulai dari janji-janji untuk menggratiskan pendidikan. Toh, sebenarnya menggratiskan pendidikan merupakan program pemerintah bukan untuk dikampanyekan.

Maka tidak salah apa yang dikatakan oleh William Godwin, bahwa menempatkan pendidikan di tangan agen-agen pemerintah akan membuka kesempatan bagi mereka untuk memanfaatkan pendidikan demi memperkuat kekuasaan mereka. Dia juga mengatakan dalam tulisannya Enquiry Concerning Political Justice and It's Influence on Moral and Happiness, pandangan-pandangan mereka sebagai para pelembaga pendidikan takkan jauh dari pandangan-pandangan dalam kapasitas politis mereka.

Tidak jauh berbeda dengan Godwin, Fransico Ferrer juga mengemukan sebuah gagasan, Pemerintah-pemerintah itu tahu, lebih tahu disbanding pihak-pihak lain, bahwa kekuasaan mereka sepenuhnya hampir didasarkan pada pendidikan. Artinya apa?. Bahwa ternyata pendidikan memang sangat sensitif untuk dijadikan sebagai sarana pengembangan politik atau kekuasaan.

Yang ditakutkan adalah pendidikan sekarang dijadikan sebagai alat strategis bagi politikus untuk mendukung partai politiknya. Jika hal ini terjadi kemungkinan besar pendidikan di Indonesia semakin hari akan mengalami dekadensi yang luar biasa utamanya dalam pembentukan moral bangsa.

Apalagi pendidikan di Indonesia saat ini sudah benar-benar berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Misalkan saja pada tahun 2003, mutu pendidikan Negara kita menurut penelitian Human Development Index (HDI), pendidikan Indonesia mencapai urutan ke-112 dari 175 negara. Kemudian sedikit naik pada tahun 2005 pada urutan ke-107 dari 177 negara.

Kondisi demikian tentu dapat membuka mata kita bersama untuk lebih meningkatkan kinerja kita dalam perbaikan pendidikan Indonesia ke depan. Tak mungkin kita tinggal diam dan terus berpangku tangan jika memnginginkan sebuah perubahan.

Oleh karena itu, perlu diadakan usaha-usaha perbaikan pendidikan, sebab pendidikan merupakan tampuk pengembangan kualitas bangsa Indonesia. Jika pendidikannya rusak maka bisa dipastikan peradaban juga akan ikut ambruk. Siapa yang mau berada dalam keterpurukan secara terus menerus?.

Sebagai langkah awal untuk memperbaiki keadaan demikian adalah netralisasi pendidikan dari tujuan-tujuan politis yang sifatnya hanya menguntungkan satu pihak saja. Tujuan utama pendidikan untuk mencerdaskan bangsa dan memperbaiki moral harus tetap dijunjung tinggi dan dijadikan sebagai arah dari perjuangan dan pengembangan pendidikan di Indonesia.

Jangan sampai kepentingan-kepentingan politik disuntikkan ke dalam pendidikan itu sendiri. Sebab hal ini akan menjadi racun yang dapat merusak dan mengkaburkan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Salah dalam menentukan tujuan juga akan dapat berpengaruh terhadap langkah dalam perjalanan dan proses pendidikan tersebut.

*Penulis adalah,

Jurnalis Kampus BESTARI Unmuh Malang

1 komentar: