Jumat, 10 April 2009

AGAMA DI TENGAH PLURALISME BUDAYA

Jika kita membaca tulisan artikel Azyumardi Azra di Harian Republika, yang berjudul Keragaman dalam Kesatuan, di sana dijelaskan bahwa salah satu keunikan dan kelebihan bangsa Indonesia dari bangsa-bangsa lain adalah keberagamannya. Dalam artian, walaupun Indonesia terdiri dari multi etnis, multi kultur dan multi agama, tetapi masih bisa mempertahankan kesatuan dan keutuhan sebagai bangsa Indonesia.
Bahkan Azzyumardi Azrra menyebutkan, Apresiasi terakhir terhadap keberagaman Indonesia datang dari Roma dalam sebuah konferensi bertajuk Unity in Diversity: The Culture of co-Existence in Indonesia. Konferensi ini diselenggarakan oleh Komunitas Sant Egidio dan Kementerian Luar Negeri Italia pada 4 Maret 2009 dengan menghadirkan sejumlah pembicara, baik dari Indonesia maupun dari Italia sendiri, termasuk Menlu Italia Franco Frattini dan Menlu Indonesia Hasan Wirajuda.
Mentri Luar Negeri Franco Frattini dalam sambutannya memberikan sejumlah daftar tentang berbagai keutamaan Indonesia dalam percaturan internasional. Daftar itu kelihatan begitu lengkap karena mengungkapkan kiprah Indonesia yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir untuk menciptakan hubungan lebih baik di antara negara-negara pada tingkat regional dan internasional melalui dialog-dialog antaragama dan antarperadaban, upaya-upaya perdamaian, dan seterusnya.
Hal itu menjadi kebanggaan bagi kita selaku bangsa Indonesia. Walaupun demikian tidak seyogyanya bagi kita untuk berbangga diri dan terlena dengan pujian dan apresiasi yang diberikan Negara asing kepada kita. Akan tetapi, kita harus menjaga dan mempertahankannya serta terus menerus mengadakan peningkatan-peningkatan, khususnya dalam hal ketenangan dan persatuan bangsa.
Sekarang bagaimana kita memposisikan agama di tengah situasi bangsa yang multikultural ini?. Pertanyaan ini mungkin tidak asing bagi kita. Ini sudah sering diungkap oleh para tokoh. Namun, satu hal yang sangat disayangkan, terkadang antara satu golongan dengan golongan lain terjadi gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan konflik antarsesama.
Dalam Islam keberagaman manusia sudah diakui dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman: "Hai manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian". (QS. Al-Hujurat: 13)
Legitimasi Al-Quran atas keberagaman manusia tersebut memberikan indikasi bahwa seharusnya manusia tidak saling menghina dan menjelekkan antara satu suku dengan suku yang lain. Artinya bahwa seseorang tidak semestinya mengklaim bahwa dirinya adalah yang paling mulia yang didasarkan pada suku dan jenis keturunannya. Tidak ada yang membedakan antara keturunan priyai dengan keturan rakyat biasa kecuali kebajikannya. Demikian juga dengan keturunan konglomerat dan ketruanan orang miskin.
Pluralisme budaya yang ada di Indonesia ini merupakan ciri khas negeri ini yang sudah barang tentu harus ditolelir. Apalagi sistem kenegaraan yang dipakai di Indonesia adalah sistem demokrasi. Walaupun pada kenyataannya masih belum maksimal. Dengan demikian banyaknya budaya dan keberagaman dalam segala hal sudah menjadi keniscayaan.
Agama dalam hal ini memegang peranan penting dalam melestarikan dan menjaga hak-hak setiap warga Negara yang mempunyai budaya masing-masing. Artinya, bahwa agama apapun itu tidak bisa dilepas dari budaya yang muncul di tengah-tengah pemeluknya. Agama harus tetap mengontrol budaya-budaya yang muncul ditengah para pemeluknya.
Misalkan saja, budaya barat yang saat ini sedang gencar-gencarnya menyerang budaya timur. Hal ini harus tetap diwaspadai. Jangan sampai terjadi penetrasi budaya yang mengakibatkan ketidakjelasan dan kerancuan serta pengkaburanterhadap budaya lokal.
Untuk mengantisipasi itu, agama sebagai sebuah keyakinan yang mendarah daging dalam sanubari bangsa Indonesia harus tetap terus mengontrol setiap budaya asing yang masuk. Ini dimaksudkan untuk menjaga originilitas budaya internal agama itu sendiri. Sehingga tidak terjadi pencampuradukan antara budaya asing dengan budaya lokal.
Apalagi di era modern ini, yang mana budaya-budaya asing sudah dengan mudahnya menyelinap dan menggerogoti budaya local. Dan ini sudah banyak memakan korban. Seperti, budaya pakaian yang ada di tengah-tengah penduduk Indonesia, khususnya di kalangan remaja.
Hal ini sudah barang tentu akan mengikis budaya lokal dan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap keagamaan seseorang. Sebab, apabila paradigma seseorang dibentuk oleh budaya asing (Barat), maka kekuatan religiusitas pada diri seseorang akan semakin tersingkirkan dan lebih mengutamakan nilai-nilai barat dari pada nilai-nilai agama.
Maka, kalau dalam Islam untuk membentengi diri, keluarga dan masyarakat supaya tidak terkena virus budaya luar (Barat) yang sudah menyebar di tengah-tengah negara Indonesia adalah dengan ruju' (kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Jadi, setiap ada permasalahan yang kaitannya dengan budaya harus disaring melalui pengkajian mendalam terhadap Al-Quran dan As-Sunnah.

*MUHAMMAD RAJAB,
Aktivis Forum Studi Islam FAI Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar